nosi anggrahini

nosi anggrahini

Kerja Keras dan Iklas oleh Mabh Jiyem

“Mbah Jiyem, nenek penjual jamu gendong”


Mbah Jiyem begitu semua orang menyapanya, seorang nenek yang sudah tua dengan usia hampir kepala tujuh ini masih cekatan dan bersemangat dalam bekerja. Di rumah reyot dengan kondisi yang seadanya, mbah jiyem menghabiskan masa tuanya bersama kakak prempuan yang sudah tua pula. Kedua nenek ini menyambung hidup dengan berjualan jamu tradisional dengan cara digendong dengan bakul sebagai alas jamunya.

Pagi-pagi buta dengan suasana langit masih gelap, dinginnya angin sisa semalam masih berasa. Tepat jam 02.00 pagi mbah jiyem dan sang kakak bergegas pergi ke Pasar Legi untuk membeli bahan baku jamu buatannya. Kurang lebih jam sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi dengan diiringi suara ayam berkokok, kedua nenek ini tibalah di rumahnya. Tidak lupa menghadap sang maha kuasa, dengan basuhan air wudhu membasuhi badan mbah jiyem. Berdoa dan bersyukur tetap mbah jiyem panjatkan kepada sang maha kuasa atas segala nikmat dan karunianya. Sholat sudah ditunaikan, mbah jiyem segera menyiapkan apa saja yang akan dibawa pada saat berjualan jamunya.

Berjualan Jamu

Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 WIB pagi dengan becak langganannya, mbah jiyem menumpangkan bakul jamunya ke dalam becak. Mengapa kok tidak digendong saja? karena mbah jiyem mengakui bahwa badannya yang sudah renta tidak mampu menggondong bakul jamu dengan botol jamu sebanyak itu. Dengan penuh keyakinan berniat dan selalu berdoa semoga jamu-jamu buatan tangan mbah jiyem laku keras. Di depan Kantor Kelurahan Laweyan Kota Surakarta, mbah jiyem segera menjajakan jamu rajikannya. Jamu ini mempunyai cirri khas tersendiri, yaitu jika pembeli datang dan mau membeli dengan tangan langsung mbah jiyem meraciknya.
Telapak tangan yang diselimuti dengan kulit yang sudah berkeriput serta penuh dengan warna kuning yang dihasilkan setelah memeras kunyit dalam setiap harinya. Para pembeli menilai jamu mbah jiyem ini beda rasanya dengan jamu lainnya. Dengan harga 2.000 rupiah pembeli sudah dapat menikmati secangkir kecil jamu mbah jiyem ini. Jamu yang dijualkan ada jamu kunyit asam, beras kencur, dan jamu daun papaya. Mbah jiyem menyadari tidak perlu banyak-banyak jamunya, yang penting bisa laku terjual semua sudah alhamdulilah. Tentunya uang yang dihasilkan dalam berjualan seharian tidak begitu banyak. “Sedikit-sedikit tidak apa-apa, yang penting bisa untuk membeli bahan baku pembuatan jamu lagi” kata mbah jiyem.

Suasana lalu lalang pengendara motor dan kabut asap yang dihasilkan, sudah menjadi wangi-wangian tersendiri baginya, jika hujan datang emperan rumah wargapun menjadi tempat berlindungnya. Rambut yang sudah memutih digelung kecil itulah ciri khas mbah jiyem, keringat yang mengucur deras membasahi seluruh badannya tak segan-segan segera untuk dilapnya menggunakan kain jarit yang sedang dikenakan mbah jiyem. Seringkali dengan membeli seplastik es teh untuk menghilangkan rasa hausnya, terlihat dengan jelas betapa raut wajah mbah jiyem menikmati es teh tersebut.

Tidak selalu berjalan mulus sesuai dengan harapan mbah jiyem dalam jualan jamunya, ada pula pembeli yang lupa membayar padahal sudah meminum jamu tersebut, ada juga yang berani menghutang. Padahal hanya 2000 rupiah, kenapa sampai tega hati menghutang ataupun lupa dalam membayar. Hanya sabar dan menanti pembeli selanjutnya yang diharapkan agar jamunya laku dan uangpun didapatnya.

Istirahat


Matahari tak terasa sudah menyengat kulit rentanya, suara adzan waktunya dhuhur sudah terdengar merdu ditelinga. Mbah jiyem dengan teliti mengemasi semua dagangannya untuk segera pulang. Sesampainya di rumah, dengan meletakkan bakul jamunya segera mbah jiyem menunaikan ibadah sholat dhuhur dengan kakak perempuannya. Air wudhu yang mengalir dan membasuh tubuhnya menjadi penyegar dan pembersih bagi dirinya. Gerakan demi gerakan dalam sholat dan setiap doa yang dipanjatkan menjadi pelindung baginya, seusainya sholat tidur siang sebagai pelepas lelah mbah jiyem. Usai tidur siang, mbah jiyem yang dibantu kakaknya segera mengupas kulit kunyit dan kencur yang sudah di beli tadi, jari jemarinya yang ulet dan telaten menari-nari bersama pisau tajamnya. Sesudah bersih semua dipipislah atau dilembutkan semua kunyit dan kencur tersebut. Tangannya yang sudah renta dengan penuh tenaga yang dimiliki mbah jiyem berusaha memipis atau melembutkan bahan jamunya. Sendau gurau tertawa bersama kakak perempuannya mengobati rasa lelah yang ada.

Hanya dengan jamu inilah mbah jiyem menggantungan hidupnya, tetap semangat dalam mencari nafkah mbah, dan sehat selalu untuk simbah dan kakak tercintanya. Tuhan pasti selalu memberi kelancaran bagi hambanya yang selalu sabar, bekerja keras, dan terus berdoa kepada-Nya. Aminn.

1 komentar:

  1. mesakke mbak, tiu harus dibeli jamunya..apalagi saya beras kencur, sukak :)

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.